Salah satu dampak dari pandemi COVID-19 di Indonesia dan juga dunia, adalah melemahnya perekonomian atau bahkan mengalami mati suri. Kondisi ini dipastikan akan terjadi, tidak peduli di negara maju maupun berkembang. Sebab solusi untuk meredam virus tersebut adalah pembatasan kegiatan sosial, praktis kegiatan perekonomian pun terhenti. Dampak lebih luasnya adalah semakin banyak yang kesulitan secara finansial.

Inilah Alasan Mengapa Kartu Prakerja Dinilai Kurang Efektif

Mengapa Kebijakan Kartu Prakerja Dinilai Tidak Efektif?

Setiap negara memiliki kebijakan tersendiri untuk menjaga perekonomian di negaranya tetap dapat berjalan, bisa jadi melemah namun tidak sampai mati. Indonesia di tengah pandemi dengan tujuan tetap memanaskan kondisi perekonomian menyediakan berbagai bantuan sosial. Tidak hanya pembagian sembako dan uang tunai, namun juga pelatihan lewat kebijakan Kartu Prakerja.

Kartu Prakerja akan diberikan kepada masyarakat terdampak COVID-19 yang memang layak, pendaftaran dan pendataan dilakukan secara online. Tujuannya adalah untuk memastikan pembagian kartu tepat sasaran. Hanya saja kebijakan ini tetap menunai berbagai kontra, yang terbaru adalah isu jika kebijakan Kartu Prakerja tidak efektif sama sekali dan dianjurkan untuk dibatalkan.

Salah satu pihak yang mengemukakan pendapat tersebut adalah ICW (Indonesia Corruption Watch). Almas Sjafrina selaku Peneliti ICW menuturkan jika kebijakan Kartu Prakerja ini sebaiknya dihentikan karena dinilai tidak efektif. Kebijakan ini ketika direalisasikan maka tidak lebih sebagai kegiatan tanpa manfaat yang sekedar menghamburkan anggaran negara.

Mengapa dikatakan demikian? Beliau menambahkan jika program Kartu Prakerja tidak akan menguntungkan atau memberi manfaat kepada peserta. Keuntungan hanya akan dirasakan oleh lembaga yang telah resmi menyediakan fasilitas pelatihan. Artinya kebijakan ini dianggap hanya menguntungkan penyedia dan mitra kerja, namun tidak untuk peserta.

Diketahui bahwa pelatihan yang didanai pemerintah ini akan diberikan secara online. Menurut Almas, pelatihan secara online menuntut peserta untuk mengeluarkan dana membeli kuota. Padahal di tengah pandemi seperti sekarang tentu para peserta yang sudah lolos menerima Kartu Prakerja akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan kuota.

Diperkirakan dengan total pelatihan antara 3-5 kali secara online akan membutuhkan modal sekitar Rp 200 ribu hanya untuk membeli kuota. Kira-kira dengan jumlah dana tersebut, adakah peserta yang bisa menyediakannya? Tentunya nominal Rp 200 ribu bukanlah nominal kecil bagi masyarakat yang sudah memenuhi syarat menerima Kartu Prakerja.

Almas juga menyampaikan jika dana Rp 20 miliar yang dianggarkan untuk Kartu Prakerja sebaiknya dihentikan. Kemudian dialihkan ke dana sosial lain untuk menangani pandemi, seperti bantuan untuk penyediaan APD bagi tenaga medis, pembagian sembako pada lansia dan orang tidak mampu, maupun untuk kegiatan sosial lainnya.

Setelah pelatihan selesai, tentunya tidak ada yang menjamin peserta sudah siap terjun ke lapangan kerja. Selain itu selesainya masa pelatihan belum tentu kondisi perekonomian sudah bangkit ataupun normal, sehingga pada akhirnya angka pengangguran tetaplah tinggi.